TUHAN MAHA
ROMANTIS
"Ketika ekspresi rindu adalah doa, tak ada cinta
yang tak mulia"
Diringkas oleh: Umi Fadillah (Siswa kelas X MA. Nur
Iman)
Judul buku :
Tuhan Maha Romantis
Penulis :
Azhar Nurun Ala
Penyunting :
Abdullah Ibnu Ahmad
Penerbit :
Azharologia, Lampu Djalan
Tahun Terbit
: 2014
Cetakan :
Pertama, Februari 2014
Tebal : 251
halaman
1. Penulis
Azhar Nurun Ala adalah
seorang pemuda darah Sunda yang lahir di Lampung dan sangat mencintai sastra.
Membaca dan menulis sudah menjadi hobinya. Sebelum menulis buku, mahasiswa Jurusan
Ilmu Gizi FKM Universitas Indonesia ini sering mempublikasikan karya-karyanya di
blog pribadinya http://www.azharologia.com/. Novel
Tuhan Maha Romantis yang ditulisnya ini merupakan buku kedua setelah
kumpulan prosa Ja(t)uh yang terbit pada tahun 2013. Sukses mencetak buku
pertamanya, Tuhan Maha Romantis resmi diluncurkan bersama dengan
terbitnya cetakan kedua buku pertamanya. Dengan gaya melankolis namun penuh
optimistis, Azhar membawakan sebuah cerita cinta yang suci dan romantis.
Metafora adalah favoritnya, memperbudak waktu adalah kekuatan ajaib yang paling
diinginkannya.
2. Sinopsis Buku
Novel ini menceritakan tokoh bernama Rijal, pemuda
yang lahir dari keluarga guru di Bandar Harapan, Lampung. Rijal adalah anak
satu-satunya di keluarga tersebut yang berkesempatan menimba ilmu di ibu kota. Menjadi mahasiswa sastra
di Universitas Indonesia mungkin menumbuhkan rasa bangga, namun perasaan cemas
dan berat hati juga ia rasakan karena ia harus berpisah dengan kedua orang
tuanya. Namun, demi mewujudkan cita-citanya, ia harus pergi. Dia harus membuat
orang tuanya bangga dan tak menyesal menyekolahkannya di jurusan sastra.
Di kampus perjuangan itulah, kisah cintanya dimulai.
Seorang wanita muslimah bernama Laras telah menawan hatinya. Laras adalah
senior di jurusannya yang saat itu juga menjadi salah satu panitia ospek.
Cantik, cerdas, berpendirian, muslimah taat, humoris, itulah penggambaran
seorang Laras di novel tersebut. Sementara Rijal, seorang mahasiswa baru yang
puitis, pemalu, namun tak kalah alim dan humoris. Dalam kehidupannya di UI,
Rijal sering sekali dipertemukan dengan Laras. Tak disangka, hatinya tertawan. Namun, ia
tetap menyimpan gejolak jiwanya itu. Cinta tumbuh dalam hatinya, tapi tak jua
terkembang menjadi kata. Kerinduannya pada Laras diekspresikannya dalam doa.
Rijal tahu apa yang harus dilakukannya: menunggu. Hingga saatnya tepat, ia akan
melamar Kak Laras, pujaan hatinya.
"Mencintai itu, bukan cuma soal rasa suka atau
ketertarikan. Bukan cuma soal kekaguman. Lebih dari itu, mencintai itu sebuah
keputusan. Keputusan besar."
Rijal sudah
memilih untuk menjadi tawanan abadi Laras. Hatinya sudah tak mampu lagi membendung
gejolak cintanya pada sang bunga. Akan tetapi, ia justru dihadapkan pada sebuah
kenyataan pahit. Tepat di hari Rijal akan menyatakan perasaannya, Laras
menghilang. Lenyap bagai pindah ke planet lain. Sang pujaan hati tak bisa ia hubungi
lagi, dan tak seorangpun bisa! Apa yang membuat Laras pergi, ia tak tahu.
Hilangnya Laras tentu membuatnya terluka. Hari berganti, bulan pun berganti,
hingga lima tahun setelah perpisahan itu. Rijal belum bisa keluar dari penjara
hati Laras, walaupun cincin pertunangan sudah melingkar di jarinya. Rijal
melamar Aira, putri dari teman baik almarhum ayahnya, yang tak kalah cantiknya
dengan Laras. Rijal melamar Aira tidak dengan tekad bulat. Ia ingin membuat ibunya
bahagia. Bukankah cinta itu membahagiakan orang yang kita cintai? Begitulah
Rijal, cintanya pada Ibunya sangat besar. Namun pertemuan sore itu dengan Laras
yang ternyata sengaja datang ke Indonesia setelah lima tahun 'menghilang' ke
New Zealand hanya untuk bertemu dengannya, membuat Rijal goyah atas
keputusannya telah melamar Aira.
***
Demikianlah rencana Tuhan, tiada satupun yang tahu apa yang akan terjadi besok. Namun itulah yang harusnya menguatkan kita, saat Tuhan punya skenario yang menurut kita tidak menyenangkan, Tuhan mungkin punya rencana lain... Seperti kata Azhar dalam novelnya,
"Bukankah pelangi hanya muncul setelah turun
gerimis".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar