Tuhan, Maaf, Kami
Sedang Sibuk
Time is my life
Sesampainya
di rumah setelah selesai mengurus jenazah kakeknya, Sulaiman bin Abdul Malik, Khalifah
Umar bin Abdul Aziz istirahat dengan berbaring di ranjang. Tak selang lama,
putra Umar, Abdul Malik, datang kepadanya dan bertanya : “Wahai Amirul
mu’minin, gerangan apakah yang membaringkan Anda di siang hari bolong seperti
ini?”
Umar
menjawab, “Aku letih, aku butuh istirahat”
Abdul
Malik berkata, “Pantaskah Anda beristirahat padahal banyak pekerjaan yang harus
dikerjakan, masih banyak rakyat tertindas yang butuh pertolonganmu.”
Umar
menjawab, “Semalam suntuk aku menjaga pamanmu dan itu yang mendorong aku untuk
istirahat, nanti setelah sholat dhuhur aku akan mengembalikan hak-hak
orang-orang yang tertindas dan teraniaya.”
Sang
anak pun bertanya, “Wahai Amirul Mu’minin, siapakah yang menjamin Anda hidup
sampai Dhuhur? Bagaimana kalau Tuhan menakdirkan Anda meninggal dunia
sekarang?”
Kemudian
Umar bangun dan pergi membawa satu karung pikulan gandum, lalu mencari orang
yang kelaparan.
Hakikat waktu
Setiap
manusia di muka bumi ini diberikan jumlah waktu yang sama oleh Tuhan, yaitu 60
menit setiap jam, dan 24 jam setiap hari. Yang menjadi masalah bukanlah jumlah
waktunya, tetapi bagaimana manusia memanfaatkan waktunya. Waktu adalah esensi
hidup kita yang dengannya kita diberi pilihan untuk mengisinya dengan aktivitas
yang kosong atau dengan melakukan hal-hal yang produktif. Malik bin Nabi dalam
bukunya Syuruth An-Nahdhah memulai
uraiannya dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama
sebagai hadits Nabi Muhammad s.a.w., “ Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali
dia berseru, ‘ Putra-putri adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi
saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari
kiamat’.”
“Ada
dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) nikmat sehat
dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
“Kehilangan
waktu itu lebih sulit daripada kematian, karena kehilangan waktu membuatmu jauh
dari Allah dan Hari Akhir, sementara kematian membuatmu jauh dari kehidupan
dunia dan penghuninya saja.” (Ibnu al-Qayyim)
“Dunia
ini hanya terdiri dari tiga hari : kemarin, ia telah pergi bersama dengan semua
yang menyertainya. Besok, engkau mungkin takkan pernah menemuinya. Hari ini,
itulah yang kau punya, jadi beramallah di sana.” ( Hasan al- Bashri)
“Wahai
Bani Adam (manusia), sesungguhnya anda hanyalah kumpulan hari-hari, maka jika
hari telah berlalu berarti telah berlalu sebagian dirimu.” (Hasan al-Bashri)
Begitu
berartinya waktu dalam kehidupan kita. Islam telah memberikan gambaran yang
utuh tentang memuliakan waktu, karakteristik waktu dan rahasia manajemen waktu
nabi. Dalam Al-Qur’an, Allah telah menempatkan waktu pada posisi yang sangat
tinggi. Dalam Al-Qur’an waktu benar-benar dimuliakan sampai-sampai banyak
sumpah atas nama waktu. Misalnya “Demi waktu” dalam QS. Al-Ashr, “Demi waktu
saat matahari naik sepenggalah” dalam QS Adh-Dhuhaa. Setiap orang harus bisa
menghargai waktu. Waktu adalah modal bagi seorang hamba. Sebagaimana dikatakan
oleh Imam al-Ghazali, “Seseorang yang membiarkan waktunya berlalu sia-sia, dan
lenyap begitu saja, sama artinya ia dengan sengaja atau tidak sengaja- telah
melenyapkan sisa-sisa masa kehidupannya”.
Setiap
detik adalah perjalanan menuju alam kubur, setiap saat adalah tahapan
berkurangnya usia dan semakin mendekat pada kematian. Sehingga hamba yang
beruntung, ia akan memanfaatkan waktunya untuk kebaikan, tidak ada saat untuk
melakukan hal yang sia-sia, dan mengatur waktu yang akan dihabiskan tersebut
dengan tujuan yang jelas. Thomas charlyle dalam kata-kata bijaknya mengatakan, “Seseorang yang memiliki tujuan yang jelas
dalam hidupnya, akan membuat suatu kemajuan walaupun ia berada di jalan yang
sulit. Seseorang tanpa tujuan yang jelas, tidak akan membuat suatu kemajuan
meskipun ia berada di jalan yang mulus.”
Bayangkan
jika ada sebuah bank yang memberikan uang kepada kita Rp 86.400 setiap pagi dan
kita harus menghabiskan semua uang tersebut. Sebab pada malam hari, bank tersebut
akan membakar uang yang tersisa, yang tidak kita gunakan. Apa yang akan kita
lakukan? Tentu saja kita akan menghabiskan uang tersebut secepat mungkin. Setiap
kita, memiliki sebuah bank seperti itu yang bernama “Waktu”. Setiap pagi, ia
akan membuka sebuah akun baru dan memberi kita 86.400 detik. Kemudian di malam
harinya, ia akan membakar waktu yang tersisa. Jika kita tidak menggunakan waktu
tersebut dengan baik, maka kita akan menyesal karena kita tidak dapat meminta
kembali sisa waktu yang tidak kita habiskan dan kita juga tidak dapat meminta
“uang muka” untuk hari esok.
- Untuk
tahu bagaimana pentingnya waktu dalam 1 tahun, tanyakan pada siswa yang
gagal dalam kelas.
- Untuk
tahu bagaimana pentingnya waktu dalam 1 bulan, tanyakan pada ibu yang
melahirkan bayi prematur.
- Untuk
tahu bagaimana pentingnya waktu dalam 1 minggu, tanyakan pada seorang
editor majalah mingguan.
- Untuk
tahu bagaimana pentingnya waktu dalam 1 jam, tanyakan pada seorang gadis
yang menunggu untuk bertemu kekasihnya.
- Untuk
tahu bagaimana pentingnya waktu dalam 1 menit, tanyakan pada orang yang
ketinggalan pesawat.
- Untuk
tahu bagaimana pentingnya waktu dalam 1 detik, tanyakan pada orang yang
selamat dari kecelakaan.
- Untuk
tahu bagaimana pentingnya waktu dalam 1 mili detik, tanyakan pada orang
yang meraih medali perak dalam pertandingan.
Bukan ‘Berapa?’, tapi
‘Untuk apa?’
Waktu
terus mengalir menuju sisa yang semakin sempit. Lalu kalimat tanya klasik yang
seharusnya terus-menerus kita ajukan kepada jiwa kita sendiri hanyalah satu.
Karena satu kalimat tanya itu nantinya juga akan menjadi kalimat tanya yang
diajukan Allah kepada kita di akhir masa : Waktumu kau habiskan untuk apa?
Masa
terus mengalir menuju peraduannya. Detik demi detik pun akan tetap melaju.
Kencang atau tidak lajunya bukan bergantung jam dinding yang menempel di kamar.
Cepat lambatnya waktu tak ada kaitannya dengan jam digital yang kita tatap tiap
saat buka HP. Cepat lambatnya waktu akan berbeda bagi tiap orang, meskipun
jarum detik tetap bergerak dengan kecepatan yang sama. Umur kita bergantung
besar pada produktivitas kita dalam memanfaatkan usia. Jadi, sekalipun orang
dikatakan memiliki umur panjang, tetapi kalau hidupnya tidak produktif, pada
hakikatnya ia berumur pendek. Bahkan, ia
mengalami kebangkrutan dalam umurnya, karena fasilitas usia yang diamanatkan
oleh Allah dan dipertanggung jawabkan kelak di hari akhir tidak digunakan
secara efektif dan produktif.
Dengan
sindiran yang cukup telak, Buya Hamka pernah menasehatkan, “Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja
sekedar bekerja, kera juga bekerja.” Dengan perumpamaan babi hutan dan
kera, Buya Hamka seolah menuturkan bahwa jika kualitas hidup kita hanya sekedar
menjalani hidup mengalir tanpa punya makna, maka apa bedanya dengan babi hutan
yang selama ini kita rendahkan. Kalau tiap hari kita bekerja dan bekerja hanya
untuk mencukupi kebutuhan hidup tanpa ada tujuan yang lebih tinggi, apa beda
kita dengan kera yang tiap hari juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masa terus beralih menuju titik peraduannya, dan Allah tak pernah memberi
kalimat tanya dengan kata awal ‘berapa’. Kalimat tanyanya adalah ‘Untuk apa’.
Masa tak pernah menunggu. Usia tak pernah menanti. Satu yang pasti, usia kita
adalah amanah yang tidak gratis. Ia merupakan modal yang diberikan Allah untuk
kita dan tidak ada jeda untuk istirahat. Sibukkan diri dengan hal-hal yang
produktif dan lelahkan jiwa dengan merangkai ide-ide yang bermanfaat bagi
banyak makhluk.
Lelah
adalah nikmat. Lelahnya muslim bisa menjadikannya lebih dekat kepada Rabb-nya.
Di siang hari ia curahkan energi dalam perjuangan iman, dan di malam harinya
dengan berjuta keluh kesah yang ia adukan lelahnya di tiap sujud malamnya. Sibuk
seorang muslim juga indah. Dalam sibuk ia berlatih untuk mengelola waktu,
mengatur jadwal, dan merapikan agenda. Benar kata seorang teman, “ Jika ingin memberi amanah, berilah pada
orang yang sibuk karena dia lebih pandai mengatur waktu ketimbang mereka yang
terbiasa menganggur.” Bagi makhluk,
waktu memiliki sifat yang misterius: tidak dapat kembali, cepat berlalu, dan
momen yang berlalu belum tentu dapat terulang. Sehingga terkadang penyesalan
datang pada manusia yang telah menyiakan waktunya dengan hal-hal yang mubazir,
bahkan dengan keburukan.
Sibukkanlah
diri karena sibuk itu indah. Apalagi jika sibuk dalam agenda ibadah. Nikmati
kesibukan dan kumpulkan poin sebanyak-banyaknya untuk ditukarkan dengan tiket
surga yang paling indah. Ketika kita benar-benar dalam waktu yang teramat
sibuk, kita baru akan menyadari betapa berharganya waktu luang yang selama ini
kita biarkan terlewat begitu saja. Kita tidak harus menghindari beristirahat
atau rekreasi. Yang kita hindari adalah menyia-nyiakan waktu. Rekreasi itu
sendiri berarti menciptakan kembali. Salah satu tragedi terbesar dalam
kehidupan modern ialah kehidupan kita yang tergesa-gesa, kita sering membiarkan
diri kita melesat terlalu jauh dari rohani sehingga diragukan apakah keduanya
dapat bertemu kembali di dunia.
di ringkas oleh :Fathurrahmah
santri kelas imrithy di PPM Aswaja Nusantara
Mahasiswi fakultas ekonomi di UMY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar