Lelaki dilarang menangis
~Aliansyah Jumbawuya~
Di ringkas oleh : Baity Rahmah
kelas X di MA Nur Iman
Setiba di Amuntai, aku tidak
singgah dulu ke rumahku di Kotaraja, melainkan langsung meluncur ke rumah sakit
Pembalah Batung. Rasa capek setelah
menempuh perjalanan empat jam dari Banjarmasin seperti tak kurasakan. Aku sudah
tak sabar lagi ingin mengetahui keadaan Uma. Sesampai di ruangan nomor 7 tampak
beberapa kerabatku bergerombol. Aku segera masuk. Kulihat Uma terbaring lemas
di ranjang. Kontan aku mendekat lalu menggenggam dan mencium tangannya.
Uma sempat menanyakan kapan kedatanganku ke rumah sakit. Betapa susahnya
Uma mengeluarkan kata kata. Ingin sekali aku bertanya panjang lebar tentang
kondisinya. Namun mengetahui kondisi Uma, aku mengurungkan niatku. Tubuhnya
bertambah kurus, kurus sekali. Wajahnya pucat. Rambutnya pun kian menipis karena
sering rontok. Kata dokter, Uma mengidap komplikasi penyakit, terutama diabetes
dan hipertensi yang cukup parah.
”Pa-naas,” rintih Uma.
Seingat dan setahuku, Uma jarang bahkan mungkin tak pernah mengeluh. Kalau
Uma sampai berkata seperti itu, tentu betapa sakit apa yang sedang Uma rasakan.
Mendengar itu, aku tak kuasa menahan buliran air mata. Aku menangis sesenggukan.
Sekilas kulirik Abah diam membeku di pojok ruangan dengan tatapan yang sulit
kutafsirkan. Usai membasuh mukaku yang sembab, aku diajak abah keluar, duduk di
pojok taman mungil yang agak sepi. Kupikir Abah akan menjelaskan tentang
keadaan Uma,ternyata bukan.
”Lelaki itu tidak boleh cengeng, harus kuat dan tegar, pantang mengeluarkan
air mata. Bukankah ini sudah sering Abah ingatkan sejak dulu? Apa kau lupa?”
Abah mengingatkanku.
Sebenarnya aku ingin menyanggah, tapi suasananya belum tepat. Aku baru saja
pulang, tidak tepat mesti berdebat dengan Abah saat ini. Jadi, lebih baik aku
memilih diam.
”Kesedihan tidak perlu dibarengi dengan air mata. Tangisan sekeras apapun tidak
akan mengubah keadaan, justru bisa melemahkan bahkan menambah kepanikan dan
kekalutan. Lain kali simpan saja air matamu. Abah tidak senang melihat anak
lelakinya jadi lembek dan rapuh. Beruntung tadi ketiga adikmu sudah pulang.
Jika tidak, mereka pasti akan terpengaruh ikut-ikutan sedih”, tegas Abah.
”Menurut Ulun, menangis itu hal yang manusiawi. Coba,siapa yang tidak
pernah menangis?” Akhirnya aku angkat bicara.
“Dulu waktu nenekmu meninggal, Abah tidak menangis. Begitu pula saat
kakekmu tutup usia, tak setetes pun Abah mengeluarkan air mata. Sebagai putra
yang tertua, Abah harus menunjukkan ketegaran pada adik-adik Abah, tidak boleh
ringkih. Begitu pula kamu, sebagai putra sulung tidak sepatutnya menangis.”
Aku diam, tapi bukan berarti setuju dengan pendapat Abah. Bagiku apa
tidak ada salahnya orang menangis. Duka kalau dipendam dalam hati justru akan
berlarut-larut dan kadang menjadi penyakit. Sebaliknya, jika ditumpahkan lewat
tangisan, sebentar kemudian perasaan bisa menjadi plong”. Segala
beban yang mengendap di dada bagai termuntahkan. Aku kelewat pendirian Abah
yang keras kepala. Pendiriannya yang kuat seolah tak terbantahkan.
”Menangis itu hanya untuk kaum perempuan karena sudah dari sananya begitu. Mereka
memang gampang dan sangat mudah mengeluarkan air mata. Akan tetapi, bagi
seorang lelaki menangis adalah hal yang tabu. Ia harus tangguh. Seberat apapun
cobaan, harus ia sikapi dengan berani. Penderitaan dan kesengsaraan, sebagaimana
juga kegembiraan dan kesenangan, adalah bagian dari permainan hidup, datang dan
pergi silih berganti. Hadapilah tanpa air mata!”
Sebenarnya aku ingin mengatakan bahwa menangis itu tidak identik denagn
kelemahan, tetapi tiba-tiba kulihat dua orang perawat memasuki ruangan tempat
Uma dirawat. Aku dan Abah serentak bergegas menuju ruangan Uma. Salah satu
perawat mengatakan bahwa tekanan darah Uma masih tinggi. Kadar gulanya juga
sama. Tadi pagi kata dokter jika dalam tiga hari ini diabetesnya tidak turun, kalau
memang mau Uma bisa saja di rujuk ke RSUD Banjarmasin, tetapi lebih baik tunggu
dulu perkembangannya nanti. Mendengar keterangan tersebut jantungku berdegup
kencang, menimbulkan perasaan was-was. Aku berharap akan ada keajaiban dari
Allah SWT.
Suatu malam, aku dan Julak Iram mendapat giliran untuk menunggui Uma sedangkan
Abah pulang ke rumah mengingat sidin beberapa malam sebelumnya selalu
berjaga. Ketika Uma tertidur dan cairan infus kulihat masih banyak, aku
mengajak Julak keluar ruangan untuk mencari angin. Kami duduk di tikar plastik
yang terhampar dilantai teras. Lantaran kejadian tadi siang masih mengusik di
benakku, aku pun diliputi rasa penasaran. Aku bertanya kepada julak,tentang
“apa betul lelaki itu tak boleh menagis?”
Sejenak Julak Iram tersenyum, tidak langsung menjawab. Mungkin ia tengah
menyelami kegundahanku. ”Orang yang menangis belum tentu lemah atau cengeng,” akhirnya
sidin berkomentar. ”Sekarang ini pengertian air mata begitu luas, bisa
mengandung banyak makna. Jangan kira orang yang menangis itu rapuh, boleh jadi
sebagai bagian dari strategi. Saat seorang istri berurai air mata, mungkin saja
ia tengah memancing suaminya agar segera memberi perhatian lebih kepadanya. Biasanya
lelaki memang gampang luluh kalau sudah melihat perempuan menangis sehingga ia akan
berusaha memenuhi apapun keinginan si perempuan. Dengan begitu, diam-diam
justru ia yang memegang.”Aku masih belum mengerti omongan Julak Iram.”
Julak Iram melanjutkan penjelasannya dengan mengambil sebuah kejadian bahwa
beberapa tahun lalu, ada calon gubernur membesuk anak yang menderita pembesaran
kepala. Karena sadar tengah dibuntuti para wartawan, sambil mengusap bocah
malang itu, ia pun meneteskan air mata. Keesokan harinya, banyak media masa
yang memberitakan momen ia menangis tersebut. Dengan cara menangis, akhirnya ia
mendulang banyak suara dan berhasil terpilih menjadi Gubernur. Mendengar banyak
penjelasan dari Julak Iram aku masih bingung bila membandingkannya dengan pendirian
Abah yang melarang keras aku menangis.
Ternyata sebelum dibawa ke Banjarmasin, Uma menghembuskan nafas
terakhirnya. Kata-kata sudah tidak bisa mewakili betapa dalam kesedihan yang
menghujamku saat itu. Kucoba untuk mencegah buliran kristal jatuh bergulir di pipiku.
Adikku yang baru SMP, Ihin, mulai menangis di dekat jenazah Uma. Aku segera
mengingatkanya dengan menakutinya jikalau nanti ketahuan Abah, maka Abah akan
marah. Air matanya pun cepat menyusut.
Usai pemakaman, sekilas kudengar orang-orang berkomentar. Ada yang
menilaiku sangat tegar lantaran tidak menangis, sebaliknya ada pula yang
setengah menghujatku, menganggap aku tidak sayang kepada Uma karena sama sekali
tak menangisi kepergiannya. Sekitar pukul 10.00 WITA usai selamatan turun
tanah, aku mengurung diri dalam kamar. Biarlah kurajut kenangan tentang Uma
diatas tempat tidurku. Tapi belum lagi jauh menerawang, tiba-tiba kudengar
suara seperti orang sedang menangis. ”Bukankah tadi ketiga adikku sudah
terlelap?”
Agaknya suara tersebut berasal dari kamar sebelah. Aku pun beringsut
melangkah dan mengintip dari balik pintu yang tak terkunci. Betapa terkejutnya
aku. Ternyata yang menangis itu adalah Abah. Aku yakin tak salah lihat. Abah
benar-benar menangis. Aku tak tahu apakah karena terlalu cintanya Abah kepada
Uma atau lantaran alasan lain. Semula aku sempat bermaksud menerobos masuk
kamar itu untuk menenangkan Abah, tetapi begitu ingat selama ini betapa sering
Abah melarang anak lelakinya menangis, menghancurkan air mata, aku pun segera mengurungkan
niat tersebut. Aku tak ingin Abah malu karena aku memergokinya tengah menangis.
Biarlah ini cukup menjadi rahasiaku saja. :’) []
~Aliansyah Jumbawuya~
~Aliansyah Jumbawuya~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar